Reddress Girl

Reddress Girl

Thursday 25 May 2017

Sampit - Sintang - Sekadau - Kuburaya

Dalam dua minggu ini, terhitung total tiga kali saya menyambangi Supadio International Airport, Pontianak Kalimantan Barat. Setelah sebelumnya menghabiskan waktu tiga minggu di Kotawaringin Timur Kalimantan Tengah, dan satu minggu di Bogor. Istirahat

Tiga tempat, yang berarti tiga klien berbeda. Dua diantaranya project yang sama. Well, I think am gonna make a quick brief about the project. 

Yang satu namanya FPIC or Free Prior Informed Consent, salah satu syarat yang harus dipenuhi oleh perusahaan perkebunan (Which is, our clients) untuk bisa mendapatkan sertifikat sustainability. FPIC  seharusnya dilakukan sebelum pembangunan perkebunan, berlaku mulai 2015 yang membolehkan masyarakat untuk menentukan apakah mau menerima atau tidak kehadiran perusahaan di wilayah mereka. despite the company has already pocketing legal license, masyarakat tetap dilibatkan untuk ikut sumbang suara.

Satu lagi namanya HCV or High Conservation Value, kegiatan penilaian (yang juga syarat sertifikasi), untuk menentukan wilayah yang memiliki nilai konservasi tinggi dan wajib dilestarikan (tidak boleh dikonversi).

Mulai dari Kotawaringin Timur, lalu Sekadau, hingga ke Kuburaya. And little did I know.. boom! This is end of May, and 2017 is halfway to go. 

***

Tiga klien, tiga karakter perusahaan berbeda, layanan jasa berbeda, dan karakter masyarakat berbeda membuat saya harus cepat beradaptasi. Memindahkan informasi ketika berhadapan dengan seseorang yang baru, tidak boleh tertukar antara perusahaan satu dan lain, desa satu dan lain. Dan yang pasti, tidak boleh terlihat lelah. Meskipun jeda paling lama untuk bisa berada di Bogor hanyalah lima hari.

Tiga minggu di Kalteng, lima hari di Bogor, lima hari di Sekadau, dua hari di Bogor, dan delapan hari di Kuburaya. Tiga koper yang belum di unpack masih tergeletak pasrah sampai sekarang. Kacau sekali ya. haha..,

Lelah itu pasti, information overload itu juga wajar.

Tapi klien tidak peduli itu. Mereka tidak mau tahu, either way you only have one hour sleep, or you were sick, they demand the best from you. Mereka juga tidak mau tahu apakah kita akan berangkat lagi atau stay put and do the reports, once they ask for deadline, you are.. dead in line. 

Karenanya saya selalu berusaha untuk memperbesar kapasitas hati, otak, dan kesabaran. Mereka tidak akan mau dengar Oh maaf pak saya baru pulang dari Kalbar jadi laporan tidak bisa selesai bla bla,. atau saya minta deadline nya diperpanjang karena besok subuh sudah berangkat lagi ke bla bla.. no

***

Ketika dihadapkan pada karakter orang desa yang berbeda, saya jadi geli sendiri. Pantas saja kita susah untuk move on, maju kedepan seperti bangsa-bangsa lain. Kita ini beragam loh, berbeda hati, pikiran, adat kebiasaan, ditambah lagi, kita ini bebas. Sistem negara demokrasi, seolah membuat sesuatu yang tidak teratur, menjadi semakin bebas untuk tidak teratur. Seperti partikel air mendidih, yang bertubrukan disana sini, tapi tidak ditutup dengan tutup panci, jadi bebas mau menguap atau menetap.

Ada desa yang menolak ide konservasi sama sekali. Warganya punya rumah yang terbuat dari Kayu Ulin, mobilnya lebih dari satu, dan motornya.. wah tak terhitung. Kabarnya ia mendapat uang milyaran dari hasil menjual tanah pada perusahaan, namun apa sebutnya? warga sini orang desa, orang kampung. kita mau makan apa kalau perusahaan gak buka lahan. Untuk apa melindungi binatang dan tumbuhan kalau manusianya gak bisa makan. Lebih penting mana manusia atau binatang.

Padahal sejak dulu nenek moyangnya tidak pernah ada riwayat mati kelaparan karena hasil ladang melimpah ruah, tidak ada habisnya.

Lalu ada desa yang menuntut janji. Katanya, dulu perusahaan masuk dengan segudang janji. Tapi lihat apa yang mereka lakukan sekarang. Tidak ada satupun yang terealisasi. Janjinya apa saja? Katanya dulu orang yang tidak punya lahan akan punya lahan. Yang punya lahan satu hektar akan dapat dua hektar. Sekarang sejengkal pun tak ada dibaginya. Bagi hasil hanya senilai tujuhpuluh lima ribu rupiah per dua hektar.

Padahal siapa suruh terbuai mimpi. Diperdaya agar bisa ongkang kaki dapat uang beli rumah dan beli mobil.

Meskipun tidak semua warga desa berpikiran demikian. Ada juga yang masih mempertahankan tanahnya ketika serbuan janji berdatangan dan hingga kini masih menikmati hasil dari jerih payahnya sendiri.

Kenapa kita begitu termakan, terfokus oleh uang yang semakin sulit dicari padahal dulu, nenek moyang tanpa uang pun mereka bisa melahirkan kita semua?

Saya yakin bahwa semua paham akan tiga kelas kebutuhan, primer, sekunder dan tersier. Yang sekarang ini, bahkan kebutuhan tersier pun disebut sebagai hak segala lapis masyarakat. Sehingga, mereka yang tidak mampu membeli motor pun, menjadi wajib untuk mampu membeli motor dengan berbagai cara.

***

Yang sedih adalah ketika Maret lalu saya di Lamandau, Kalimantan Tengah, mengunjungi satu desa transmigrasi yang sudah dikelilingi kebun kelapa sawit. Mereka sudah bercampur baur antara orang Jawa, Flores NTT, Madura, Sunda, dan suku Dayak asli. Sejak tahun delapan puluhan, diutus oleh pemerintahan pusat, diberikan sebidang tanah untuk dikelola dan memperbaiki kehidupan.

Mereka bekerja, bertani, berpanas-panasan, hingga datang satu perkebunan yang - juga mendapat izin dari pemerintah setempat - untuk membabat habis ladang pertanian mereka. Tentu tidak semua habis. Dan tentu tidak semua lahan bersertifikat dari desa transmigrasi itu dihabiskan, tetapi ada bagian-bagian tertentu yang terkena imbas.

Sebutlah para transmigran sudah diberi dua hektar,. Tapi karena dulu masih hutan, mereka lalu ikut 'merambah' hutan demi tambahan penghasilan. Dulu, hasil dua hektar itu hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan perut, sementara hutan masih gagah perkasa membentang di halaman belakang rumah mereka.

Hutan mereka buka, dengan tenaga seadanya. Satu persatu ditanami pohon buah-buahan, hingga hasilnya menetas. Mereka bisa mendapatkan pangan karbohidrat hingga vitamin tanpa perlu berjalan kaki berkilometer jauhnya hanya untuk ke pasar.

Ilegal kah itu? well, who knows. 

Dulu, polisi hutan pun mungkin belum ada. Imbauan untuk menjaga hutan pun masih sayup sekali terdengar. Mereka paham kok untuk menjaga hutan. Olehnya mereka buka hutan dengan tangan dan kapak. Bukan mesin-mesin pengeruk yang serakah.

Lalu datanglah perkebunan,

Menghabiskan pohon buah yang telah mereka tanam dan rawat sejak kecil. Yang lahannya dibersihkan menggunakan otot dan keringat sendiri. Pun belum sampai disitu, sebagian ladang padi pemberian transmigrasi ikut tergiling habis. Mesin berwarna kuning itu seram sekali.

***

Puluhan tahun berlalu sejak mimpi masa depan yang -katanya- akan lebih baik, transmigran itu kini bekerja sebagai buruh. Dibayar tujuh puluh lima ribu rupiah per hari, menaiki mobil bak dan berdiri, dibawa ke unit-unit pekerjaan untuk bekerja hingga lepas tengah hari.

Janji masa depan itu, berubah menjadi buruh kelapa sawit.

Ironis, tapi tanyakan pada mereka.. do you happy? and see the answer will be: YES, we are, happy. 

Why? 

Karena manusia terlalu banyak membuat standar-standar yang tidak relevan. Kita berbeda, kenapa harus punya standar yang sama.

Bagi mereka, mungkin menjadi buruh lebih baik ketimbang menjadi petani sendiri. Bekerja sebagai buruh hanya sampai lewat tengah hari. Lalu mereka bisa kembali ke ladang untuk mencukupi kebutuhan dapur sendiri. Uang buruh ditabung untuk anak bersekolah dikemudian hari. Sederhana, bukan?

***

Sekarang.. kita yang masih tinggal di kota, dengan gaji yang.. well.. tiga ? empat? lima? sepuluh juta per bulan? masih sering komplain tentang ini dan itu?

Masih suka memenuhi media sosial dengan status-status yang menggambarkan keluh kesah?

Come on, now.. 

Dari Sampit - hingga Kuburaya. Ketika semua permasalahan orang saya dengar, catat dan saya ingat.. ketika itu juga saya sadar.. Bahwa bangsa ini butuh lebih dari sekedar anak muda yang complaining over too many things. 

No comments:

Post a Comment

Dies Natalis PSB 2013