Reddress Girl

Reddress Girl

Saturday 28 January 2017

Simplicity is the new Luxury

Dalam lima tahun, kita mungkin sudah mulai disuguhkan dengan teknologi Artificial Intelligence yang akan mempermudah hidup dalam berbagai aspek. Termasuk urusan rumah tangga. Kemudian akan ada perdebatan panjang mengenai 'apakah kita butuh teknologi itu, atau tidak'. Dan seperti biasa, majority wins. 

Like a river, time's flow is unstoppable. We can't stop things just because we don't like it. Lama-lama, suka tidak suka, mau tidak mau, kita pun terikut arus waktu. Jika tidak ada tiang pegangan, maka bisa dengan mudah terombang-ambing dengan riak yang tak menentu.

***

Sementara itu, jauh di Kalimantan sana, ada desa-desa yang masih belum tersentuh listrik. Teknologi, adalah kemewahan bagi mereka. Untuk bisa berkomunikasi dengan sanak saudara yang jauh disana, atau sekedar kenalan yang pernah numpang lewat, adalah kebanggaan tersendiri. Bagi mereka, di luar desa adalah segala yang hebat.

Desa Ginih, misalnya. Dengan luas sebelas ribu hektar, dan hanya berpenduduk tujuh puluh tujuh kk, berdebat di kalangan mereka sendiri. Apakah ingin mempertahankan hutan yang masih utuh luas dan rapat itu, atau menyerahkan pada pemodal agar bisa seperti desa lain?

Desa itu terletak di balik bukit. Tersembunyi dan seperti diapit. Penduduknya yang hanya 70 kk, adalah suku dayak asli yang sudah lama bermukim disana. Mengandalkan hidup sehari-hari dari hasil hutan, dan air Sungai Batang Kawa yang mengalir persis di sebelah pemukiman. Mereka tidak butuh  teknologi pengangkut air. Kebutuhan beras terpenuhi dari padi ladang hasil membuka lahan kering. Meskipun kadang tidak cukup, dan harus pergi membeli jika persediaan sudah habis, mereka mampu membeli. Ada hasil hutan yang bisa dijual. Jengkol, cempedak, durian, kayu ulin, asal rajin mencari.

Tinggal bersama mereka yang masih belum peduli dengan keberadaan MCK, mengajarkan untuk berempati. Empathy is a rare thing today, for the social media makes us easily speaks our mind, hoping that other people will understand. We're too busy hoping people would understand without mind to understand other people. Maka selama lima hari, gue belajar untuk turut merasakan damainya tanpa sinyal. Nyamannya mendengarkan cerita dan keluhan orang lain tanpa perlu mengajarkan mereka soal apapun, apalagi men judge mereka.

Bagaimana bisa gue judge mereka yang memang, sedikit sekali pengetahuannya tentang dunia luar?

Sinetron, is the ultimate teacher for them. That's where they learn how modern people walk, talk, and act. That's where they found what is life style, and what is cool. 

Sehingga mereka sibuk berdebat. Ada yang menginginkan hutan dimiliki saja oleh pemodal, diubah menjadi kebun kelapa sawit, lantas mereka akan mendapat pekerjaan dengan mudah, dapat uang, bisa belanja, dan tiad perlu lagi pusing berlelah-lelah ke hutan atau mencari ikan.

Yang ingin mempertahankan hutan, dianggap kuno dan tidak ingin maju. Maunya leyeh-leyeh saja, jam sepuluh pagi sudah minum tuak, duduk dan mengobrol hingga siang hari. Kemudian tidur siang, lantas bangun lagi untuk duduk dan mengobrol. Rutinitas turun temurun.

Mereka yang ingin hutannya dibuka, menganggap diri berpikiran 'maju'. Mereka ingin 'maju' sebutnya. Desa lain sudah 'maju', kenapa kita belum juga?

And then I asked my self.. should we re-defined that term? 'Maju'.. definisi 'maju' disini apakah berarti sama dengan dunia luar? Sama dengan orang di kota?

Karena kalau dilihat di sekitar,

Ya Tuhan, gue tidur di dalam rumah yang terbuat dari Kayu Ulin. Kayu yang harganya amat mahal, dan butuh puluhan tahun untuk bisa ditebang. Atapnya pun dari Kayu Ulin, no matter how hot the weather outside, rumah beratap dan berdinding Kayu Ulin akan selalu dingin dan lembab. Sirkulasi udara mengalir sempurna, udara bersih, tentu saja.

Tidak perlu MCK, mandi saja di sungai tanpa dinding. Air pun masih bisa diambil dan dimasak. Tidak perlu membeli seperti di kota. Satu galon enam belas ribu, haya cukup untuk dua minggu.

Sebelas ribu hektar luas wilayah desa, hanya dipakai seperdelapannya untuk pemukiman. Hutan yang menyediakan oksigen bersih masih terbentang luas di belakang mereka. Jika musim durian, atau jengkol, atau cempedak, orang akan berbondong-bondong datang ke desa membawa mobil-mobil angkutan. Saking melimpahnya, harga satu buah cempedak bisa dibeli dengan dua ribu rupiah.

Sayur labu, daun singkong, daging babi, semua bisa diambil. Gratis. Tanam atau berburu, bebas saja. Yang penting bergerak sedikit, sudah bisa makan.

Kalau lelah, tinggal duduk berisitrahat di bawah pohon rindang. Musim rambutan, pohon rindang itu jadi sumber makanan. Kehidupan seperti itu, apa masih ada di kota? Tentu tidak.

***

Sebenarnya, bahagia itu semudah melihat apa yang sudah dipunya. Meskipun sederhana, tapi kalau mau berempati ke luar sana, banyak orang yang juga menginginkannya. Susah payah kita menyamai kedudukan dengan mereka, eh ternyata mereka malah menginginkan yang kita punya.

Sayangnya, tidak semua orang akan setuju. Tidak semua orang akan mau begitu. Sehingga dunia menjadi sibuk untuk mencari apa yang belum mereka miliki.

That's when I realize, I need to take a step back. 

Tuesday 24 January 2017

The Battle

Bersama siraman vitamin D dari sinar matahari pagi, dalam hening bersenandung berkendara membelah jalanan yang tidak terlalu macet, diiringi dengan lantunan Bohemian Rapsody, I.. deliver my soul. I.. sacrifice my life, for the dream of other people. 

***

Lembar demi lembar rupiah yang selalu dikumpulkan, akhirnya bertumpuk dan menggenang. Untuk kemudian habis dalam sekejap. Tapi bukan itu yang kusesali, melainkan bunga-bunga yang dijanjikan akan menemani. Katanya, akan tetap dalam setahun pertama, lalu bergelombang ditahun berikutnya, hingga nanti kusudah tua.

One thing I'm afraid the most. The devil.

But I don't wanna call them as the devil, actually. The woman I met upstairs, was full of smile, she wears hijab and it's the right kind of hijab. Her voice was soft, and she always smiling during the explanation. 

I let my fingers touch the papers. and put the sign on like.. twenty? thirty pages of it. It was an exhausting two hours. Not to mention another evil. There was this evil, she wears short skirts and thick make up. She offered me her product, a mouthwatering kind of product. 'Only with 181 thousand rupiahs a month, you could get 50 million rupiahs in 15 years' she said. So tempting. 

And I said no. 

I had enough 'flower' with the first devil. 

***

Isn't life, is an endless struggle between what we need and what we want? Now I learn to let go of the things that I want. I need to learn to want nothing. 

Itulah kenapa sufi, filsuf, selalunya perlu distansiasi. Menjauh sedikit, untuk menghilangkan keinginan duniawi. Nggak lah, kugak akan bisa sampai di tahap sana, tapi sedikitnya kubisa berempati pada mereka yang melepaskan keinginan.

Bukan selalu saja filsuf, sufi, biksu, atau nabi. Rekan terdekat saja, yang selalu terlihat dengan mobilnya, selalu tampil disetiap acara, menjadi pembicara dan dibawah sorot lampu benderang, bisa dengan tiba-tiba memutuskan pergi ke Jawa sana, bermukim di sebelah sungai jernih, lalu membuka kedai organik.

Learn to let go. dan itu ternyata bukan cuma tentang melepaskan orang yang kita sayang, tapi juga benda, serta.. ambisi.

Memang boleh hidup tanpa ambisi?

Apa bedanya ambisi dan goal?

Ah gataulah. Nanti juga jawabannya datang sendiri kalau gak lagi dicari. bukankah selalu seperti itu, giliran dicari gak ada, malah gak dicari dia datang, begitu membuka diri, eh malah pergi.

***

Barang-barang mewah yang dilengkapi sistem pembelian kredit alias nyicil itu datang karena adanya permintaan. ada orang-orang yang menginginkan untuk memiliki barang-barang itu dengan kemampuan finansial terbatas. Demi keinginan, digadaikanlah sebuah jaminan. without realising that, the happiness was tagged along with the transaction. ada kebahagiaan yang tergadaikan ketika seseorang memutuskan untuk berhutan. Ada kedamaian yang terkikis yang kemudian menjadi.. tidak percaya akan Kekayaan Sang Maha Kaya?

Kusempat tergiur tadi, sebutnya asuransi, dan bisa bertambah melesat cepat selama kurun waktu yang menjanjikan, dan bisa digunakan untuk pelunasan dan lain-lain. seolah tanpa cela, tanpa cacat. Pun tidak mahal jumlah yang harus dibayarkan, jika itu dibeli untuk kuota handphone pun, akan habis dalam dua minggu.

But I said no. 

Sepanjang perjalanan pulang, bersama lantunan coldplay dengan lagunya 'what if' kuberpikir sendiri. Hampir menyesal tidak menerima tawaran si evil.

Lalu saking ngelanturnya, kunyaris berpapasan badan dengan kendaraan yang besarnya tujuh kalilipat besarku. Fiuh.. nyaris. kupikir. Gila saja baru berhutang lantas sudah.. yah...

Ah, mungkin karena belum makan siang. Pesan makan pun gamau nyantai. Kupesan banyak tuk seorang. Kubutuh jernih, pikirku begitu. Rasanya setelah transaksi selesai, bukannya lega malah takut. damn.. that is a long road to run.. 

Masih dengan beralbum-album coldplay, kusantap makan siang. Hujan gerimis di luar padahal matahari amat terang. Hujan orang mati, kata orang diseberang.

Lantas kubergidik ngeri.

The endless battle of what I want and what I need, wouldn't be define ultimately. One should learn how to controll the emotion before it consumes most part of your life. Gloomy mood, rage, will do bad things to inner peace. 

And honestly, the things that we need, are always simple. It's air, water, food, cloths, and wifi good friend. 

Life never demand us to have a fancy house, fancy car, fancy clothes, or fast wifi signal  cute pillows. Life never demand us the things we buy online. Life never come with a series of complicated need. It comes with simplicity. To live simply is now a luxury for modern civilization. 

but in order to live simply, one shall learn what it feels like to have everything and still feel nothing. 

Happiness indeed doesn't require money roadtrips are but we still need to make money to avoid being judgmental person. people tend to judge when they don't understand the struggle, and all the struggle we saw daily, are all for money.

I don't wanna grow old for money. I don't wanna live ten years from now, and look back to only see how much money I make. I saw people created their new year resolution when I have no idea what is my goal. Until I realize that, it's ok to wander around, go far far beyond the horizon, only to find that the real thing is near. the thing that I need is here.. all the time. 

***

Now everytime I see things in supermarket, or malls, or markets, or online shop, i'll ask myself 'do you want this? or do you NEED this' if I try to manipulate my self by saying 'I NEED this', i'll ask again 'will you die if you don't have it?' and then I'll pretending to die. 

(I deleted my online shops application, anyway. It's an achievement for the new beginning). 


Monday 23 January 2017

hUSh

Curcol dikit, barusan gue pulang kantor lewat jam sembilan. jam tujuh tadi maksain makan nasi, meskipun bentuknya nasi goreng. Karena terakhir makan nasi, ya malam kemarin di Plaza Senayan pas jalan sama Ka Bukhi dan Ka Dee. Rupanya, nasi goreng memang berefek buruk pada perut yang belum stabil. Akibatnya, selama satu setengah jam gue menahan sakit luar biasa akibat cinta  penyakit lama tumbuh kembali.

Padahal masih ada kerjaan sambilan yang harus gue selesaikan, dan itu, meskipun sudah bagi-bagi job ke temen, tetep aja ada yg mesti gue kerjain ulang karena dia ngambil dari google translate mentah-mentah. Sedihnya.

Setengah sepuluh.. jam sepuluh.. sakitnya belum reda juga. Mau bangun tuk ambil obat saja gak bisa. Tapi mau minum obat juga, sebenarnya obat dari dokter udah lama habis. Tinggal ada obat biasa, dan itu gue ragu juga sih bakal sembuh apa nggak kalo minum itu.

Selama kurang lebih sembilan puluh menit itulah gue reminiscing cerita-cerita yang pernah diceritakan, either itu gue liat di film, buku, atau pengalaman seorang kenalan, tentang kehidupan para perempuan yang berjuang sendirian.

***

Adalah film hUSh karya Djenar Maesa Ayu dan sang kekasih, gue lupa namanya, yang dibintangi oleh Cinta Ramlan. Gue tonton dengan khidmat di studio kecil penuh kenangan yang unik, Kineforum namanya. (Ni dulu di studio ini ada kenangan gue sama Dimas Adhiswara something loh.. lupa sih apa itu bener namanya apa bukan, pemeran mamen di AADC. males googling).

Terus terang hati gue berontak nonton film dokumenter berdurasi delapan puluh menit itu. Tapi gue gak ingin buru-buru beranjak dan meninggalkan studio. Karena biar bagaimanapun, dunia yang ditayangkan dalam film tersebut, adalah dunia yang sempat sedikit banyak gue kenal.

Cinta Ramlan pun sebenarnya gue gak tahu dia siapa. Baru tahu ya di film ini bahwa dia merupakan seorang penulis lagu sekaligus penyanyi. Pemusik lah intinya. Keinginannya cuma satu: Hidup bebas,. Seperti laki-laki, dia ingin bisa bebas semau dia pergi. Tidak perlu terikat oleh ikatan suami istri, dan bisa berhubungan dengan siapapun yang dia mau di dunia ini.

Dia pergi ke Lombok, dengan tatonya menari-nari. mengikuti ritme hidup para turis mancanegara lalu bilang di adegan setelahnya "budaya kita yang harus kita jaga. Kita perlu sadar bahwa sejak dulu, budaya ini (telanjang dada bagi wanita) sudah dilakukan secara turun temurun. Budaya kita.."  Tapi sendirinya ingin mengubah stigma di masyarakat bahwa perempuan juga boleh hook up semaunya tanpa di judge as a whore. 

Di awal, cinta bilang 'people tend to judge when they don't really understand about the reason why people doing that thing' tapi di belakang film, dia menertawakan sekumpulan muslim yang menutupi dada patung telanjang dengan kain, karena menurutnya itu stupid and ridiculous, lalu menjabarkan opininya mengenai perbedaan pornografi dan seni. Well.. 

Tapi gue menerima itu semua, menyaksikan dia bertelanjang bulat berenang dibawah sorotan kamera, demi menunjukkan betapa bebas jiwanya. Tanpa sedikit pun marah atau protes, meskipun ibu-ibu bau rokok yang duduk disebelah gue, terus menerus berdecak kagum pada film ini.

Sebetulnya inti dari film ini adalah tentang rapist. Kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual yang belakangan marak terjadi, tapi malah jalan ceritanya seperti autobiografi. Sesungguhnya, maaf jika gue bilang begini, Djenar Maesa Ayu is overhyped.

Film ini memaksa gue untuk melihat alasan dibalik ke'brutalan' mereka. Alasan yang membuat mereka memilih hidup yang bebas, yang nyari hepi aja, yang ga ada duit pun ga apa asal  tetep rame, yang bisa dancing in the rain under the wine, yang semua jelas bertentangan dengan keyakinan yang gue anut.

But who am I to judge, just because they chose different path doesn't mean I have to close my eyes on their background, right?

Because, surprisingly, it all came from the same pattern: Mother! Yup. 

Anak-anak perempuan yang dibesarkan oleh seorang ibu single parent, cenderung akan berlaku seperti itu, karena hilangnya figur seorang ayah. Meskipun banyak di luar sana ibu single parent hebat yang bisa membesarkan anak perempuan hingga menjadi wanita terhormat, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa hanya orang-orang kuat saja yang mampu.

Kalau tidak terlalu kuat, pun si ibu akan memberi contoh buruk dengan lelaki-lelaki yang menjadi kekasihnya.

Bukan salah si anak jika kemudian itulah yang dia pahami tentang dunia, tentang hidup dan kehidupan. Bahwa menurutnya benar jika dia memilih untuk tidak menikah, dan gonta ganti pasangan semaunya.

Selama menonton film itu, fokus gue justru bukan ke cerita hidup Cinta Ramlan, yang mulai dari masa kecilnya dia pernah dicabuli sejak usia sembilan tahun, had sex since she was ten, twice abortion, the affair with married men whom the only men she fall in love with, cheating husband cheating boyfriend, dan kekacauan lainnya yang berusaha dia ceritakan sambil tertawa-tawa.

Bukan.

Fokus gue lebih kepada, kengerian akan nantinya, ketika gue harus membesarkan seorang anak perempuan. The world is getting darker, and what kind of world will my daughter have? The absence of love separate parents from their children. What about the absence of mom?

Sedangkan gue amat senang bekerja, menghabiskan berjam-jam di depan komputer, bahkan hingga azan subuh berkumandang demi menyelesaikan pekerjaan sampingan, seolah pekerjaan utama belum cukup time consuming. 

Relakah, nanti ketika gue akhirnya punya anak itu, relakah gue menyerahkan ini semua sepenuhnya?

It takes an ultimate love to do so.. and I think, family is where it all began. To start a family, one should fall in love with each other first, I think now I know the goal. I finally found one goal. The reason of my gloomy mood lately, was because the absence of goal. 

Love.

But what kind of love do I need? I mean.. I don't even think about anybody lately. Since the last time I had a big crush and then I solemnly declare that it was stupid and the feeling has all gone, I have nothing about love to pursue. not a person, not a criteria. I am worried of not finding it anymore, which it supposed to be the root of my next step. 

To raise a kid, daughter, son, whoever, and to become a mother, is one thing I worry the most. To see how Cinta Ramlan and her mother communicate to each other, and her mother is a single mom as well until recently (she's now marrying a younger boy, even younger than cinta, a poor artist from bali, only make money for 150 thousand rupiahs a day, and said they're happily married), I feel curious about the struggle. They have their own guidance, for sure. And it doesn't have to be the same as mine, but in which guidance will allow free sex as life style, and she.. as her mother,. let her be. 

A woman heart is indeed a deep ocean to dive. It could be everything, or nothing. And that's when I realise, my kids, my family, will need me one day. So I better prepare, to let these shining path slowly fade. unintentionally. Hanya mengendorkan ikatan, sehingga kalau sewaktu-waktu perlu hilang, rasa kehilangannya gak terlalu nyakitin.

Arrhh.... another overthinking. 

But seriously, we are woman. We are the root of our team, the heart of the team. Good generations comes from our body. Good generations, started from a good family. Betapa pengaruh dari sebuah keluarga terhadap anak, terhadap tetangga, itu besar sekali setelah gue melihat interaksi kehidupan anak-anak, ibu-ibu, dan bapak-bapak di desa-desa pesisir sana. Bermula dari kecil, kemudian besar, lalu haya ibu yang berlapang hati mau merelakan anaknya pergi jauh, berpisah darinya yang padahal sudah dirawat dari kecil, merelakan dia untuk pergi tanpa tahu akan pulang lagi atau tidak. Sungguh, kita ini paling penting.

Perempuan itu paling penting. (Sorry boys, am telling the truth now).

Gue bisa berteman dengan siapa saja, pelaku free sex atau seorang muslim taat, gue bisa menerima semua sudut pandang mereka, sambil belajar memahami latar belakang apa yang membuat mereka begini, tanpa merasa perlu untuk menilai siapa benar siapa salah, tapi.. untuk urusan nantinya anak gue bagaimana, gak akan gue biarkan dulu dia melihat sisi yang tidak baik hingga dia bisa benar-benar yakin dimana dia berdiri dan berpegang. Setelah itu, berselancar lah kau nak, yang jauh yang luas. Kalau tidak pulang pun tak apa, asal sepanjang perjalananmu nanti, tebar kebaikan. Yang banyak, yang melimpah.

Only then I know that.. I am now.. a real.. old.. woman. -____-

why on earth i'm thinking about this right now?!

***

10:30 akhirnya gue bisa bangun, dan langsung menuang sereal oatmeal dicampur gula merah. Sudah sembuh selama satu jam terakhir hingga tulisan ini diketik selesai pada 11:21

Selamat malam, I need to work again, not only because I need the money (I do need it, lol) but because I have to run before it's too late. Because men... are hard to trust. 


Sunday 22 January 2017

Obrolan Minggu Sore

Scroll this blog ke bawah ke catatan sekitar tiga-empat tahun lalu, bikin jadi ngebatin sendiri., kok ya beda tulisan disini sama tulisan di blog satu lagi.. Blog satu lagi isinya sampah semua. Disini juga sih sebenarnya bukan tulisan yang penting-penting amat, tapi setidaknya ada poin nya sedikit banyak.

Kemudian gue ingat, bagaimana cara menulis di blog ini tiga-empat-lima tahun lalu, dengan cara gue menulis di blog sekarang (blog satu lagi). Yang disini, dulu, ditulis dengan khusyuk, menggunakan sepuluh jari, duduk tegak dan formal. sedangkan blog satu lagi, ditulis pake jempol, dengan posisi gaya bebas, kadang duduk, kadang tidur, kadang jungkir balik, dan informal. Thanks to the advance technology which makes everything easier. 

Ya betul, teknologi membuat segala sesuatu makin mudah. Makin gampang di akses, makin gampang dilakukan, tapi juga.. jadi semakin kehilangan makna. If I may say, dulu orang nulis pakai tangan, right? semua orang pasti paham bedanya sensasi menulis dengan tangan, dan mengetik secara digital. Teknologi, membawa perubahan itu semua bukan hanya pada kemudahan akses, tapi juga pada effort and willingness to do something. 

So, from now on, I'll try to make it more consistent, as I love writing and I still wanna feel it as a sacred energy. I'll uninstall my blog app, then  #prinsip. Terserah mau dibilang old soul juga, dari dulu gue memang sudah dikenal sebagai orang yang senang sama hal-hal kuno dan tua.

***

Having a really good conversation can extremely boost my mood. What else do I want in this world beside having a friend or two to talk about everything. It such a rare thing to open up my mind now, like.. I don't know. 

I met these girls five months ago, in Bali. At a training about rural enterpreneurship. I know nothing that this thing actually exist before my boss asked me to join. I was like 'okay..' and after the training I was like 'what's this? what can I do, then'.. 

Classic young people. They want instant process. 

Gue jadi gak begitu tertarik dengan hasil dari pelatihan tersebut karena ya memang 'hasil'nya gak terlihat secara langsung. Bukan serta merta dari pelatihan itu gue langsung bisa simsalabim jadi rural enterpreneur, kan? But none ever told me that, so.. 

Sore ini kita ketemu di Plaza Senayan. Reuni, kalau kita bilang. Kerjanya duduk dan mengobrol. and it was really a different kind of conversation that I usually had with people in my age (still.. I'm the youngest but they never laugh at me when I try to speak my mind. That's the best part, actually). We talked about our concern about life, we share the same question on how to contribute to this country in this limited capacity we have, and we talked about Books, movies, books, (mostly books), and a little bit about love life. Nah.. I have nothing to share for the last part, so I was so excited to hear their stories. 

Dari pembicaraan itu, kita bertiga sepakat bahwa memang betul in order to move forward, one should fix their self first. to look from within, and try to deal with it. 

Masalah yang banyak terjadi sekarang adalah, kebanyakan kita sudah lupa dengan siapa diri kita. Anak muda yang tidak kenal sejarahnya. Desa yang kehilangan keunikannya. Orang tua yang tidak menurunkan cerita nenek moyangnya. Lupa. Related to the book I've read recently, the economic hitman, yang memang, membuat lupa adalah satu misi mereka. To make people forget about their identity. Mereka sebut dengan globalisasi.

Memang kita kadang perlu berhenti sebentar. Untuk melihat kebelakang, tentang siapa sih kita ini? Menggali lagi catatan sejarah. Lemahnya pendokumentasian membuat penyakit lupa ini semakin mudah menular. Kata Ka Bukhi, nenek moyang dulunya membuat catatan dokumentasi dalam bentuk simbol, supaya tidak mudah dibaca orang lain, dan tidak mudah diubah-ubah. Tapi ya sama saja, ketika itu disimpan dan tidak diturunkan, generasi selanjutnya sudah tidak mengerti cara memecahkan kode-kodenya.

Pertanyaan selanjutnya lagi, seberapa jauh sih kita perlu menengok kebelakang dan menggali identitas sendiri? Seberapa dalam kita perlu mengenali diri sendiri untuk bisa melangkah maju?

Jawabannya ada diujung langit, kita kesana dengan seorang anak pada setiap orang yang benar ingin melangkah maju. Seberapa kokoh dia ingin menancapkan tiangnya. Karena akan exhausting sekali kalau terlalu dalam menggali juga, jangan-jangan malah jadi buang waktu dan instead of moving forward, kita malah jadi terjebak masa lalu. kan baper

***

Gue berangkat siang tadi dengan antusiasme yang akhirnya muncul lagi. Api yang kemarin selalu ada, yang pelan-pelan mulai redup sejak pergantian tahun, akhirnya nyala lagi. Gue semangat berangkat meski commuter line tersendat, karena gue ingin mencari motivasi.

Dan benar terjawab. Pada apa yang gue pertanyakan 'apa yang bisa kukerjakan disamping sekedar cari uang? aku gak pingin hidup cuma numpang lewat. Tapi untuk bilang mau berkontribusi kok terdengar terlalu berlebihan' dan gue terlalu malu, terlalu takut, tepatnya untuk menanyakan hal itu pada orang-orang. Barulah hari ini berani kutanyakan.

I trust their vibe. Mungkin itu yang bisa bikin gue akhirnya berani bertanya. Jawaban yang datang bukan dari gue bertanya lalu mereka menjawab. Tapi dari aliran percakapan yang tidak pernah berhenti. satu dua nyangkut di pikiran, dan menjadi catatan kaki. Hey, ini yang gue cari!

***

Selain poin tentang mengenal diri sendiri tadi, menggali lagi catatan sejarah, dan percikan keinginan untuk 'yuk do something to contribute to this country' pun ada poin satu lagi yang selama ini menjadi pendaman gue.

dan itu dijawab dengan rekomendasi buku the miracle of tidying up. bahwa ada orang di luar sana yang menulis tentang caranya berterimakasih pada benda-benda yang selama ini sudah menemani perjalanan hidup kita. I think that's the hardest goodbye sih, yang mau gak mau harus gue lakukan dalam waktu dekat. I have to move on with my life, and it'll involve thousand of goodbyes. *memandang nelangsa pada tumpukan boneka*

Gue pun pulang dengan membawa satu semangat baru. Bisa kok, seseorang, hidup dan menularkan manfaat untuk orang lain. life is too short untuk sekedar haha hihi. Kedengerannya bullshit ya? But I need to start from now before it's too late. Before I too caught up with my job, and before I have a person waiting for me at home and complain about the food I cook. -_- 

Selagi masih seperti ini, selagi masih ada energi, selagi masih belum ada yang harus gue tanggung kehidupannya financially, sebisa mungkin banyak energi positif yang gue tularkan disana-sini. Bukankah hidup memang mestinya saling memberi manfaat? meskipun bayarannya adalah jam tidur yang kian irit.

Tapi tak apa. sleep is for the weak. and i'll have plenty of sleep in grave yard. So, now.. if you'll excuse me. it's 1:10 AM and I still have a side job to finish. It'd be a cheating if I do the side job during office hour, while my client demand this work to be on his desk by tomorrow. well, I don't need to sleep right now. I've slept zombie last night, so.. 

*going to bed*



Saturday 21 January 2017

Scattered Dot

John Perkins dalam bukunya yang berjudul The Confessions of an Economic Hitman pernah mengatakan, "life composed of series of coincidence, how we react to these, how we exercise what some refer to as free will"

Kumpulan-kumpulan kebetulan itu kemudian menjadi jalan yang gak pernah kita duga sebelumnya, tetapi membentuk kerangka utama cerita hidup seseorang. Semacam titik-titik yang tersebar acak, yang jika dihubungkan satu persatu menggunakan garis bantu, akan membentuk rasi bintang yang baru.

One scatter dot of mine was having a random thought since new year. Sejak malam pergantian yang gue habiskan dengan khidmat dibawah taburan bubuk mesiu dari langit Kota Jogja, pikiran ini sudah tidak lagi beraturan. Seolah selalu bertanya, selalu kaget dengan jalannya waktu. Kok ya rasanya baru kemarin gue ulang tahun ke dua puluh.. sekarang udah mau ke.. yah segitulah.

Lalu pertanyaan-pertanyaan nakal mulai hadir. Bermunculan dan kalau ditanya jumlahnya, mungkin cukup terwakilkan dengan jerawat yang kian timbul tumben-tumbenan.

Pertanyaan itu semakin mengganggu ketika setiap pagi bangun tidur mengecek sejumlah pesan whatsapp yang masuk dan gak satupun pesan pribadi  yang isinya adalah rupa-rupa pengingat tugaas.

Kerja.
Cuma itu saja yang gue pikirkan dari bangun tidur sampai mau tidur lagi. Bahkan pas akhir tahun kemarin, di dalam tidur pun masih di datangi klien.

***

Di malam pergantian tahun, demi menyaksikan lentera beterbangan, gue menjadi sedikit curiga.

Jangan-jangan.. gue sudah terlalu settle? Sampai tidak bisa memikirkan hal lain selain bekerja, dapat uang, jalan-jalan, ketemu teman, lalu tertawa.

Bukankah mestinya, hidup bisa jadi lebih dari itu?

***

Pertanyaan itu membawa gue pada macam-macam kebingungan. Pertanyaan yang tidak terlontar. Diam yang ditutupi dengan candaan receh. Sampai gue merasa, ini benar. Benar salah. I need to reset my goal. But what is my goal?

Secara tidak sengaja kemudian gue mengantongi buku yang gue kutip di atas. Lalu ikut merasakan kehidupan masyarakat yang jauh di pedalaman sana. Keinginan untuk membangun mimpi sendiri malah makin menjadi. Tapi apa mimpinya, itu juga belum tahu. Jangankan begitu, beberapa hari kebelakang, dalam tidur pun sudah jarang kumimpi. Mungkin karena sudah kehabisan ide.

Lalu tiba-tiba ada ajakan untuk menonton film di Theater Kinaforum, di Taman Ismail Marzuki. hUSh judulnya. Tentang cerita seorang perempuan yang memilih hidup bebas dan melajang, seperti para lelaki di pantai, dan ingin mendobrak stigma masyarakat bahwa hanya laki-laki yang bisa bebas. Perempuan juga harus bisa, menurut dia tidak adil jika laki-laki bisa bersenandung sepuasnya, hook up semaunya, dan masih dihormati sebagai seorang gentlemen sedangkan perempuan akan dituduh.. well.. yah itulah.

It's a mind opening docuumenter, actually. If one would feel the empathy of why those people behave that way. Sebenarnya kita ini memang senang mengkotak-kotakan. Jadi tidak apa jika gue sebut seperti dua kubu ini, yang satu mengklaim diri bebas dan memperjuangkan kebebasan hak berekspresi dan satu lagi terikat aturan keyakinan yang mereka sebut agama.

Nanti akan gue bahas. Tapi untuk di tulisan ini, sebuah 'dot' yang terjadi secara kebetulan ini, seperti melengkapi. the scattered dot somehow doesn't seem like scattered anymore. It's more like spread organizely. Kalau kata seorang teman yang bijak sih, tidak ada yang kebetulan disini. Semua itu Tuhan sudah atur. Ya iya sih, kujuga tahu itu.

Sebulan lalu, secara kebetulan gue bertemu seorang perempuan seumuran. Akun instagramnya @wayan_ayoe (hai wayan.. haha). Sedikit banyak sekarang gue sedang memikirkan bagaimana cara mengajak kolaborasi wayan dan komunitasnya. Pertemuan kami di kereta sore itu, berkat buku yang ia baca (Perempuan Pala) dan buku yang gue baca. eh.. ehmm.. hehe.. (Mendengarkan Coldplay), terlibatlah kami dalam satu obrolan yang berujung pada bertukaran akun instagram..

Rasanya, akan ada satu garis yang sanggup menghubungkan antara kebetulan-kebetulan ini semua. and all it takes is just one moment to connect them all. I'm searching for that moment now. I'm working on it. 

Because life supposed to be more than just the money and love thing. It's not just you doing the best at your job, earn much money, spread them all and walk away. Or just find perfect man, get married, have kids, 

Either a career woman or a housewife, life should be more than that. To leave the legacy on what our kids will remember and follow. we need to create the path. What is the goal? We're all gonna die. It hurts to remember that we're all gonna die. And when we die, beside a zillion time to sleep, what will we have later on the day?

Apa ada hal berguna yang kita tinggalkan disini kalau mati nanti, atau sekedar numpang lewat, ngabisin oksigen, nambahin gas rumah kaca, dan galian tanah?

We all know that conspiracy is in the air. The powerful country gain their power from our absence of goal. Find the goal. And to do so, it costs me my circle. I might change. And people won't like it I know. Let them. There's something about me that need to be rearranged. I know people will accuse me of being too complicated, boring, and old soul. It's ok. 

And here's the best lesson during my first five years of being a twenties: Learn to feel the empathy. Empathy is the new way of communication. The empathy is, one simple way to reduce anger, when things go against your expectation. Empathy. 


Thursday 19 January 2017

Explore Palembang!

When in Palembang, don't miss this tasty red bean!

Es kacang merah Vico. Di rekomendasiin temen, di verifikasi oleh google dan reviewer setianya. Es kacang merah vico!

Asli. Mengobati rinduku pada es kacang merah manado. Cuma ini gapake susu coklat, kalo manado punya rasa ya susu coklat. Satu selera.

Ayayayy..

Bookmark

Sudah setahun ini gue gak lagi peduli dengan bookmark. Apalagi buku-buku periplus gak pernah dilengkapi bookmark seperti buku-buku Gramedia. Jadilah apapun yang ada disekitar gue pake demi tidak melipat halaman. Haram itu.

Paling sering yang jadi bookmark adalah boarding pass Garuda. Selain karena kertasnya yang tebel dan pas banget, juga karena belinya ya memang sebelum naik pesawat. Dan buku ya tempat paling pas tuk jadi tempat nyimpen boarding pass yang tidak ribet.

Yang paling sering lain lagi ya duit. Tapi kalo duit biasanya gue ganti begitu menemukan pembatas yang pas. Misal kertas karton mulung di tengah jalan, atau meta plan yang tergeletak pasrah di meja kantor. Nah itulah.

***

Sekarang,
Kalau pembatas bukunya gue pake ini, kepikiran gak berarti gue bacanya dimana 😂😂😂

Jijik ya?

😂 #darkside

Like an Espresso

Like an espresso, we must pressed until there's nothing left to press. The bitter the better. The stronger sip to an empty soul.

I look up to the sky today, and learn to loose. Go. Never come back again.

***

Pergi untuk pulang lagi menjadi orang yang tidak sama. Bumi tidak berubah. Perspektif dalam melihat bumi yang berbeda.

Ada orang-orang yang menggantungkan harapnya pada kata demi kata yang nanti kami tulis. Sebutnya, mereka sudah lelah berharap. Dan bosan. Tapi tidak apa, coba lagi. Siapa tau kali ini berhasil. Lantas pertemuan dibubarkan, mereka senang, kamipun gembira. Tugas selesai, harapan terucap.

Setelahnya?

***

Meski kita semua tahu. Berharap saja tidak cukup.

Wednesday 18 January 2017

Oil in the River

Here to the bumpiest ride.

Berangkat dari pelabuhan palembang di bawah jembatan ampera, kita naik speed boat carteran menuju Dusun Penyabungan Desa Riding. Katanya dua jam perjalanannnya.

Pemandangan pertama yang terpampang disini adalah.. Kapal-kapal minyak yang besar dan hitam. Besar dan hitam. 😁 kotor pula.

Lalu disana sini ada tulisan "dilarang menurunkan jangkar, ada pipa minyak" seperti itu.

Gilee...

Am flying on the oil nih ceritanya. Kalo berenang, berenang diatas uang dong?

Ini nih.. Setelah baca buku economic hitmen, dan dilanjutin dgn buku hubungan politik between east and west world., ini nih yang diperebutkan.

Soal ini nih yang dicari-cari terus. Yang bikin perang.

***

Berarti sumber minyak dekat sekali.
Tepat dibawah kaki.
Tapi sayang,
Harga bensin disini,
Sepuluh ribu per liter tangki,
Kalau di kota..
Naik 300 rupiah saja., sudah jadi meme (read: mim).

Hotels, Hostels, Guesthouse, or... Dorm!

It all depends on your willingness to pay.

Until my (almost) twenty five years polluting the earth thru my travelling experience, I have stayed in :

Backpacker house / dormitory type of guesthouse back in my early twenties. With only a little amount of money. Only chose this type if you were young, and wild, and free. Because once you get older and feels like not talking to anyone, this one is a terrible choice. Really.

What? Do you think you can afford stranger whom talk to you all day about how lovely your country is, beside your bed? Then go ahead. Only youth blood can deal with that. They're excited to seek it, though. (And by youth, I don't mean age).

My experience with backpacker houses are in overseas. I don't have any experience with the houses here in Indonesia. And in Vietnam, oh.. I'll never forget the experience of sleeping in a spaceship capsule. Lol. That one was awesome! You should try!

If you are a backpacker, sure you'll need this. It provides a whole information you need, a friends you wish to meet during the journey, and so on. And if you're just a light traveler, you can try to stay at

Hostels. I only chose hostels when I need to pay less than hotel but couldn't afford the stranger talk as I mentioned before. One of those was in Semarang, which.. surprisingly ridiculous. In this november, that experience will be two years gone. Ah..

Hostels provide you a cheaper, but there's no guarantee of comfort in there. Different with backpacker house where you have no expectation of comfort before so you don't deal with any disappointment, right?

My semarang hostel located on the third floor of indomaret, anyway. I was with a big suitcase, (because i only have two days of holidays before my meeting in Kalimantan. I requested the flight from semarang so..) And struggled thru the stairs. It was the small stairs fit for one man only. And the room? They don't even provide blanket. I didn't take my scarf because I know it was just a meetings that I'll sleep in hotels anyway. Didn't see this coming. So i sleep with mukena. Like a dead man. Haha

And by now.. My suggestion is, it's okay to spend a little more expensive price while traveling and have all comfort you need. Usually, the Hotels and hostels price gap are not much. Considering the guarantee of nice location, access, tools they provide, (not to mention the take-away sandals and shower cap! Lol. I never missed them both. Even until am a rich woman, tho. Haha).

I'll prefer budget hotel for a short quick trip. They are easier to access. Of all the budget hotels i've tried, there is one that I admire so much.

It provides best wifi access, and it's pink! Haha now you name it.

Yeah..

Somehow...

I think when I grow older again, later on the day.. I'll do more local. For now, due to priority, i'll chose the most assuring once. Umur segini mah butuhnya yang pasti. Bukan janji.

I've search several hotels in different location and some of them provides a luxury of local taste with lower price than budget hotel's mother. Iykwim. Lol

***

After all..

Hotels always sadden me.
It makes me feel.. Alone.
I don't like hotels when travel alone.
I'd rather backpacker house.
But with a capsule.
I need that capsule right now.
With the moon and the stars at the top of my head.
And saturn..
And venus..
The constellation on my head.
Tv on my side. Even if I hate tv. It feels good to have a company.
Am in one of my hotel i fan the most.
And babay.
I'll enjoy while it last.
The luxury of no need to close the bathroom door.

When Everything Seems So Wrong

I started the first introduction page of 'The World Without Islam' book. And I start to think that.. When everything seems so wrong.. When everything seems so stupid and insane and unlogic, I will stop.

I will stop judging and accusing. Because maybe.. Just maybe. Maybe I'm the one who wrong.

Monday 16 January 2017

Sad Thought

It literally makes me cry to know that not everyone I love could comply the rule.

Demikian halaman-halaman yang gue baca.. Semakin tenggelam dalam carik-carik kata yang kemudian membuat gue berpikir: salah benar bukan kita yang tentukan, tapi kita dibekali akal tuk memilah mana salah mana benar. Kenapa harus menunggu Tuhan menentukan siapa salah siapa benar?

We do can judge.

Panduan sudah dikasih. Rambu-rambu sudah ada. Tinggal diikuti, lalu dijalani.

Dan yang bikin menangis adalah..

Kenapa bagi orang-orang yang justru gue sayangi, sulit untuk bisa mengikuti. Ada saja bantahan yang bisa di lontarkan. Berbantahan hingga kemudian gue pergi mundur. Atau jika maju terus, lama-lama gue akan dicap ga asik.

"Ah kayak udah bener aja. Urus diri sendiri dulu deh baru ngurusin orang laen"

It hurts to think about the day after..

Dan iri.

Ketika melihat orang lain bisa berkawan dengan orang-orang yang bisa mengajak kepada kebaikan, saling mengingatkan dalam kebaikan..

Dulu..

Dulu sekali,..

Lingkaran pertemanan gue seperti itu. Dan karena belum pernah merasakan yang berbeda, gue mulai menjadi seorang judgmental dan pergi mencari lingkaran baru.

Yang kami puja adalah kebrutalan. Anarki baik hati. Kata kami, lebih baik tidak solat tapi tidak ghibah daripada solat lantas riya. Lalu kami tertawa menari-nari mengelilingi api, hingga hari berganti.

Pernah.

Pernah ada di dua sisi itu. Dulu.

Sekarang?

Bahkan menentukan pijakan saja sulit. Teman bicara sudah tak ada lagi. Teman tertawa kian banyak berdatangan kanan kiri. Teman dalam kebaikan?

***

Jika disurga nanti you can't find me..
Please tell God that you know me.
That you want me to be by your side.
Please remind me now to avoid the hole. Remind me even if it drives me mad. Remind me all the time to the goodness.

The war is near. And it's real.

The Goodness of Walk Away

Orang cenderung tidak suka jika diberitahukan soal kebenaran. Apalagi kalau kebenaran itu merusak kebahagiaan mereka.

Seperti anak yang lagi suka makan permen tiba tiba dinasehatin soal kandungan gula dalam permen yang bisa merusak kesehatan mengganggu pencernaan dan sebagainya. Pasti akan marah.

Itu kenapa para penghibur lebih disenangi ketimbang para pendidik. Orang lebih senang tertawa ketimbang mengetahui soal kebaikan.

Hidup terlalu sebentar untuk terbuang sia-sia katanya. Repot belajar agama. Mending bahagia saja. Seolah setelah dari sini sudah tidak ada bahagia yang akan didapat.

Paham kusekarang kenapa Rasul mengajarkan untuk pergi dari kumpulan yang merugikan. Karena, kadang memang tidak ada yang bisa diubah dari sana dan tidak ada juga yang bisa kita petik hikmahnya.

Pergi itu lebih mudah ketimbang struggling in vain with the battle we cannot win.

Untuk sekarang ini lebih baik memang memperkuat pijakan. Memilih dulu, berpijak dimana. Lalu kuatkan disitu. Karena distraksi datangnya dari berbagai arah. Kalau terus menerus ikut arus, lama-lama ngambang tanpa sadar kita sudah jauh dari tujuan.

Tujuan nya kemana?

Ya mati.

Apa lagi.

Friday 13 January 2017

Cakrek!

Or you know it as: lobster! Enjoy

Waste

Orang sini, (desa-desa pesisir di Kecamatan Tulung Selapan kab OKI Palembang), tidak punya sistem pembuangan sampah.

Tiap kali gue nanya dimana tempat sampah, mereka bilang 'buang saja ke sungai! Nanti juga hanyut' dengan santai dan tertawa.

Pun ketika gue keukeuh simpen di plastik, dikumpulin sampe banyak, sama si ibu rumah juga tetap akan dibuang di sungai. Seplastik-plastiknya.

Miris ketika ditanya soal dampak kesehatan dari perusahaan, mereka selalu bilang 'air sungai dulu bisa diminum, sekarang dipakai mandi pun gatal. Sabun pun ga bersih, masih licin di kulit, dsb dsb'

Gambar dibawah ini, ini sampah gue. Habis makan pisang pagi tadi, gue ga nanya lagi mesti dibuang kemana.. Langsung ke jendela, lalu *throw!*

That guilty feeling is less than before.

Mungkin begitulah semua berkembang.

Real

His name is Real. Not Real-Real but Re-al.

Sukanya ngajak ngobrol pake bahasa planet.
Maunya nempel terus nyempil-nyempil.
Giliran dicuekin baca buku, dianya ikut ikut dateng bawa buku, duduk sebelah gue.

Ampun bocah..

Perfect cook

Perfectly cooked by the mother of villagers. God this is damn tasty!

I am here for the food

Excuse me if this post is mouthwatering. The authentic pempek lenggang in Rambai Village, South Sumatera.

I still in search of my motivation, anyway..

Desa Kuala Duabelas,.Sungai Riding

Lalu kumenangis gamau pulang.

Mau disini saja

Di desa diatas sungai.

Gada sinyal kecuali sesekali

Sepi tenang dan dingin..

Gada bising kendaraan telolet

Gaada hiruk pikuk yang bikin pekak.

Kusuka disini saja.

Makan makanan segar.

Sayur baru dipetik

Ikan segar baru dijala.

Mandi dengan air yang masih bersih..

Suara azan bikin tenang, semua orang ke masjid..

Kusuka disini..

Ya Allah..

:(

Kenapa mood ini

Bergandengan

Speed boat bergandengan.
Berlabuh bersandar bersama tertambat.
Dibawah biruputih angin sungai mengarah kelaut.
Atau anginlaut mengarah kesungai.
Lalalalala...

Only write thing that matter sepertinya gaberlaku buat gue. Gapenting semua isi blog ini. Haha

Tuesday 10 January 2017

Mood booster

Only when I have time to read i feel the chill inside

Mood

I don't need reason to be happy.

I am the happiness.

But now..

Punch me in the face!
Maybe that's the kind of motivation i need.

***

*got punched*

Brain Vacation

Here is how I survive ten days of assessment.

This time, while I lose my excitement, while I tried to collect motivation, here is how I build up my mood again.

It still a long road ahead. Plenty of story to listen. I need to shut my mouth more often. Behave stronger. And throw the sob away.

Gawsah cengeng! The world doesn't need that, and heaven doesn't welcome that.

Monday 9 January 2017

2017! (2)

Kubilangin ya. I'm not the same person as i did last year. Or two years ago. Or three years ago!! My god.

So don't judge me by my old post. Karena itu terlalu memalukan untuk dibaca (even for me) tapi terlalu sayang untuk dibuang.

Karena gue yang sekarang, adalah se norak ini: ketika mood sedang diambang batas, diajak jalan kesana kemari, lalu nemu quote bagus nemplok di tembok, dan selfie!

Ya. Silakan walk away.

Saturday 7 January 2017

2017

Terakhir nulis di blog ini, adalah dua tahun lalu.
so..
Am not the same person again. As I wake up differently every day..and one year can changes a lot.. Could you imagine what two years can do to me?!

Hell yeah!

Hello there...

I'm back!!

Mulai sekarang, blog ini aktif lagi.
Blog sebelumnya udah ke laut.
Biar mengalir sampai ke samudra
Trus menguap ke atmosfir
Lalu menjadi segumpal awan
Trus tercerai berai oleh angin sepoi sepoi.
Bye.

Dies Natalis PSB 2013