Reddress Girl

Reddress Girl

Saturday 28 January 2017

Simplicity is the new Luxury

Dalam lima tahun, kita mungkin sudah mulai disuguhkan dengan teknologi Artificial Intelligence yang akan mempermudah hidup dalam berbagai aspek. Termasuk urusan rumah tangga. Kemudian akan ada perdebatan panjang mengenai 'apakah kita butuh teknologi itu, atau tidak'. Dan seperti biasa, majority wins. 

Like a river, time's flow is unstoppable. We can't stop things just because we don't like it. Lama-lama, suka tidak suka, mau tidak mau, kita pun terikut arus waktu. Jika tidak ada tiang pegangan, maka bisa dengan mudah terombang-ambing dengan riak yang tak menentu.

***

Sementara itu, jauh di Kalimantan sana, ada desa-desa yang masih belum tersentuh listrik. Teknologi, adalah kemewahan bagi mereka. Untuk bisa berkomunikasi dengan sanak saudara yang jauh disana, atau sekedar kenalan yang pernah numpang lewat, adalah kebanggaan tersendiri. Bagi mereka, di luar desa adalah segala yang hebat.

Desa Ginih, misalnya. Dengan luas sebelas ribu hektar, dan hanya berpenduduk tujuh puluh tujuh kk, berdebat di kalangan mereka sendiri. Apakah ingin mempertahankan hutan yang masih utuh luas dan rapat itu, atau menyerahkan pada pemodal agar bisa seperti desa lain?

Desa itu terletak di balik bukit. Tersembunyi dan seperti diapit. Penduduknya yang hanya 70 kk, adalah suku dayak asli yang sudah lama bermukim disana. Mengandalkan hidup sehari-hari dari hasil hutan, dan air Sungai Batang Kawa yang mengalir persis di sebelah pemukiman. Mereka tidak butuh  teknologi pengangkut air. Kebutuhan beras terpenuhi dari padi ladang hasil membuka lahan kering. Meskipun kadang tidak cukup, dan harus pergi membeli jika persediaan sudah habis, mereka mampu membeli. Ada hasil hutan yang bisa dijual. Jengkol, cempedak, durian, kayu ulin, asal rajin mencari.

Tinggal bersama mereka yang masih belum peduli dengan keberadaan MCK, mengajarkan untuk berempati. Empathy is a rare thing today, for the social media makes us easily speaks our mind, hoping that other people will understand. We're too busy hoping people would understand without mind to understand other people. Maka selama lima hari, gue belajar untuk turut merasakan damainya tanpa sinyal. Nyamannya mendengarkan cerita dan keluhan orang lain tanpa perlu mengajarkan mereka soal apapun, apalagi men judge mereka.

Bagaimana bisa gue judge mereka yang memang, sedikit sekali pengetahuannya tentang dunia luar?

Sinetron, is the ultimate teacher for them. That's where they learn how modern people walk, talk, and act. That's where they found what is life style, and what is cool. 

Sehingga mereka sibuk berdebat. Ada yang menginginkan hutan dimiliki saja oleh pemodal, diubah menjadi kebun kelapa sawit, lantas mereka akan mendapat pekerjaan dengan mudah, dapat uang, bisa belanja, dan tiad perlu lagi pusing berlelah-lelah ke hutan atau mencari ikan.

Yang ingin mempertahankan hutan, dianggap kuno dan tidak ingin maju. Maunya leyeh-leyeh saja, jam sepuluh pagi sudah minum tuak, duduk dan mengobrol hingga siang hari. Kemudian tidur siang, lantas bangun lagi untuk duduk dan mengobrol. Rutinitas turun temurun.

Mereka yang ingin hutannya dibuka, menganggap diri berpikiran 'maju'. Mereka ingin 'maju' sebutnya. Desa lain sudah 'maju', kenapa kita belum juga?

And then I asked my self.. should we re-defined that term? 'Maju'.. definisi 'maju' disini apakah berarti sama dengan dunia luar? Sama dengan orang di kota?

Karena kalau dilihat di sekitar,

Ya Tuhan, gue tidur di dalam rumah yang terbuat dari Kayu Ulin. Kayu yang harganya amat mahal, dan butuh puluhan tahun untuk bisa ditebang. Atapnya pun dari Kayu Ulin, no matter how hot the weather outside, rumah beratap dan berdinding Kayu Ulin akan selalu dingin dan lembab. Sirkulasi udara mengalir sempurna, udara bersih, tentu saja.

Tidak perlu MCK, mandi saja di sungai tanpa dinding. Air pun masih bisa diambil dan dimasak. Tidak perlu membeli seperti di kota. Satu galon enam belas ribu, haya cukup untuk dua minggu.

Sebelas ribu hektar luas wilayah desa, hanya dipakai seperdelapannya untuk pemukiman. Hutan yang menyediakan oksigen bersih masih terbentang luas di belakang mereka. Jika musim durian, atau jengkol, atau cempedak, orang akan berbondong-bondong datang ke desa membawa mobil-mobil angkutan. Saking melimpahnya, harga satu buah cempedak bisa dibeli dengan dua ribu rupiah.

Sayur labu, daun singkong, daging babi, semua bisa diambil. Gratis. Tanam atau berburu, bebas saja. Yang penting bergerak sedikit, sudah bisa makan.

Kalau lelah, tinggal duduk berisitrahat di bawah pohon rindang. Musim rambutan, pohon rindang itu jadi sumber makanan. Kehidupan seperti itu, apa masih ada di kota? Tentu tidak.

***

Sebenarnya, bahagia itu semudah melihat apa yang sudah dipunya. Meskipun sederhana, tapi kalau mau berempati ke luar sana, banyak orang yang juga menginginkannya. Susah payah kita menyamai kedudukan dengan mereka, eh ternyata mereka malah menginginkan yang kita punya.

Sayangnya, tidak semua orang akan setuju. Tidak semua orang akan mau begitu. Sehingga dunia menjadi sibuk untuk mencari apa yang belum mereka miliki.

That's when I realize, I need to take a step back. 

No comments:

Post a Comment

Dies Natalis PSB 2013