Reddress Girl

Reddress Girl

Sunday 24 November 2013

Mahameru berkisah, Matarmaja berjasa

Tidak pernah ada sedikit pun niat atau keinginan mendaki puncak tertinggi pulau Jawa itu. Puncak yang disebut-sebut sebagai puncak para dewa. Tidak pernah. Meskipun iya ada ketertarikan ketika pertama kali membaca novel petualangan yang dikemas dengan sampul hitam legam, yang belakangan terkenal karena dijadikan film yang dibintangi artis-artis ternama. bahkan saat itu, saat kelas dua SMA, saat pertama kali membaca petualangan itu, hanya kagum yang berdecak. tidak iri, tidak ingin. hanya berkata dalam hati 'wah hebat ya mereka' dan buku ditutup.

Tapi Tuhan berkehendak lain. awal januari teman seangkatan yang dulu kami pernah melalui hari-hari menyakitkan bersama, mengajak untuk melakukan perjalanan bersama yang mungkin untuk terakhir kalinya. Iya, kami semua sudah berada di puncak nya pendidikan anak muda. Masa Mahasiswa kami sebentar lagi berakhir, bahkan sudah ada yang telah benar-benar berakhir dan menggantinya dengan dunia baru yang penuh dengan hitungan rupiah. Awal Januari mereka menentukan Mahameru sebagai tujuan kita bersama. meski tidak setuju, saat itu aku memilih diam dan tidak berkomentar. toh waktu yang direncanakan masih sangat lama. dan tentu mereka tidak akan peduli jika ada satu yang tidak ikut. biar bagaimanapun, pemahaman akan kapasitas diri berbeda dengan pesimisme.

waktu berlalu tanpa dihitung, obrolan warung kopi sederhana kembali menyatukan kami. rasa yang dulu pernah ada tentang keterikatan yang kuat antara sahabat timbul lagi. sekali dua tentu rasa itu pernah terkikis oleh minimnya kedekatan jarak. di warung kopi sederhana itulah penentuan tanggal tanpa diduga. tanpa di rencanakan, terbersit begitu saja. selasa dalam 14 hari kita akan bersama Matarmaja.

Matarmaja meraung, merayap perlahan. menembus barisan angin yang hendak menantang. sama mustahilnya dengan keinginan dalam hati yang begitu kuat, yang dihadang dengan keterbatasan kemampuan. Ah, saya sudah berusaha untuk menjadi kuat. melatih tubuh dan membiasakan bergerak. sudah sepantasnya kapasitas diri ini pun ikut meningkat. tak perlu risau toh mereka lah dulu teman seperjuangan selama satu tahun melewati aral melintang. toh ini kebersamaan yang diutamakan. tak ayal, matarmaja memasuki gerbang malam. canda tawa kian membuncah. satu dua ledekan, di tangkis dan saling balas. suasana yang begitu aku rindukan. dulu, empat tahun yang lalu, suasana ini terlalu akrab di telinga hingga menelurkan rasa bosan. empat tahun berlalu, suasana ini kian langka. matarmaja selalu mampu merapatkan barisan meski dirinya sendiri senantiasa membelah barisan angin.

Ranu kumbolo yang laris manis itu menyapa kami di pekatnya malam. Dingin seperti biasa. dulu juga begini. kondisi tim sangat baik-baik saja, bahkan masih sanggup bercanda. semua ceria, mengenang apa yang dulu pernah kita lalui bersama. tenda-tenda hangat dan kokoh kami dirikan. tiga mengepung asap kompor. memasak air hangat untuk kami seduh menjadi berbagai jenis minuman. kopi, teh, semua dinikmati bersama. lelah pekat terbayar. perjalanan masih panjang karena kali mati tentu akan lebih dingin dari ini.

Indah Ranu Kumbolo memanjakan siapa saja yang masih bisa tersenyum. kemilau airnya sangat menggoda untuk di cumbui. ah, dengan suhu se dingin ini, berendam di dalamnya hanya untuk mereka yang kuat fisik serta mental, karena jelas melanggar peraturan. kamera, alat pemindah waktu, menjadi alat paling berguna setelah perlengkapan tidur dan masak. mengabadikan setiap kedipan mata, untuk kenangan yang entah kapan lagi dapat terulang. meskipun tim kami tak seutuhnya orang-orang yang mengantongi kenangan empat tahun lalu, tapi keceriaan itu tetap sama. sama tanpa cacat. seolah tak ada sekat antara -angkatan ini atau bukan- tak ada orang yang melakukan itu. tak perlu.

Hujan menggetarkan menyambut kami di kali mati. tenda didirikan seadanya, makanan dimasak sebisanya. rasa pun tak keruan lagi di lidah entah pasir atau nasi semua bercampur. tantangan pertama semenjak kami tiba di desa tumpang, ranu pani dan akhirnya memutuskan untuk terus mendaki. padang ilalang telah kami tembus dengan gembira. berbisik angin di lembah menertawakan kegirangan kami seolah ingin menguji saat tantangan datang menghujam, akankah kami tetap tertawa?

sayang sekali wahai angin, kami tetap tangguh dan berseri meski tubuh menggigil. karena kami tahu, apa yang sedang kami jalani saat ini, akan tidak sebanding dengan apa yang akan kami jalani ketika menuju puncak nanti.

suhu minus
rambut membeku
kristal es berserakan
kabut yang datang dan pergi dengan sangat cepat
cuaca yang tidak menentu
pendaki yang ketakutan
pasir yang di telan
dan papan-papan memoriam yang berserakan

semua itu menambah kesan pada perjalanan kali ini. jam 1 dini hari kami memulai pendakian, waktu yang boleh dibilang terlambat untuk Mahameru yang selalu mensyaratkan ketepatan waktu dan kecepatan bergerak. angin dingin mengirimkan hawa beku membuat mata selalu ingin terpejam. sekuat tenaga melawan keinginan kaki yang terus dibawa melangkah. jumlah air terbatas. jumlah makanan terbatas. semua harus dibagi tak boleh serakah sendiri.

Mahameru selalu menyisakan cerita berbeda bagi para penjamahnya. meski ribuan orang telah berhasil menggapai puncaknya, tetap saja ada jutaan orang yang belum mau untuk turut serta. dengan berbagai macam alasan angkuh, atau tak angkuh. dengan berkata tak tertarik, sudah ramai, sudah banyak dikunjungi, sudah tak asing, apapun, apapun. tapi Mahameru selalu asli. selalu asli. tak pernah ada yang sama, meski ada yang lebih hebat. Mahameru mengajarkanku untuk tidak lagi meremehkan pencapaian seseorang. Karena pada suatu waktu keangkuhan akan berbalik menelan kemaluan kita bulat-bulat.




No comments:

Post a Comment

Dies Natalis PSB 2013