Reddress Girl

Reddress Girl

Monday 4 February 2013

Fenomena Jalanan

Selintas sempat terpikir olehku, apa yang sebenarnya diharapkan oleh pengamen itu? Tidak. Sebetulnya aku tidak benar-benar terpikir tentang itu, bahkan bisa dibilang tadinya hampir aku tak peduli. Wajar! aku tak mengenal siapa mereka dan mereka adalah fenomena biasa setiap kali aku harus berkutat dijalanan untuk mencapai suatu tempat.
Namun kemudian aku teringat nasihat seseorang tentang hidup. Nasihat klasik yang memang sudah sering kudengar, namun entah kenapa kali ini nasihat itu menjadi berarti "seringlah lihat ke bawah, jangan selalu hanya ke atas" ya dan kali ini pengamen itu mengusikku. Di dalam bis lengang yang nyaman ini aku pun terhanyut dengan pikiranku sendiri.

Sudah puluhan kali aku melakukan perjalanan dengan kendaraan umum yang menuntut baur dengan orang orang tak dikenal, namun tak pernah sekalipun aku memikirkan profesi yang begitu sering kujumpai. ada beberapa kemungkinan faktor penyebab, yah diantaranya adalah bosan dan menganggap itu adalah hal biasa. Lagipula, hey siapa yang mau menghabiskan waktu untuk memikirkan mereka?

Pedagang asongan, pengamen jalanan, pengemis dan gelandangan menjadi pemandangan biasa bagiku. Ya, karena aku sudah terlalu sering melihat dan berpapasan dengan mereka tiap kali dijalan. Bahkan bisa jadi ada segelintir perasaan bangga jika melewati mereka karena hidup ku bisa lebih baik dari itu. bodoh. aku bodoh jika berpikiran begitu.

Kemudian seorang pengamen menarik perhatianku. suaranya bagus, tampilannya pun lumayan menarik. lagu dan iringan gitar yang dia lantunkan pun pas. Ku amati seksama pengamen itu, jangan-jangan dia dulunya adalah penyanyi cafe kelas atas yang kemudian bangkrut dan ditipu. atau bahkan mungkin dia sebenarnya adalah mahasiswa pandai yang berasal dari keluarga tak mampu dan untuk membiayai hidup di tutup nya dengan ngamen? ah, entahlah. yang menggangguku kemudian adalah kalimat yang terlontar darinya. Jadi orang kaya jangan pelit, kalo pelit nanti masuk neraka. gope atau seribu tidak akan membuat anda jatuh miskin ya bu aji. terimakasih bu semoga diberi tambah rejeki tanahnya luas mobilnya dua motornya empat sapinya lima duitnya banyak.

Ah, aku ingin membahas satu persatu.Jadi orang kaya jangan pelit, kalo pelit nanti masuk neraka. Jika sebelum mereka meminta, mereka mengatasnamakan pekerjaan yang penting halal, dan ba bi bu nya segala tentang kebaikan, lantas pantaskah mereka berkata begitu? baiklah sekarang ambil asumsi mereka kurang akan pendidikan sehingga belum bisa memilih kata yang baik atau bisa jadi mereka terlalu termakan emosi. kalimat ini biasa terlontar jika penumpang sama sekali tidak memberi recehan padanya.

gope atau seribu tidak akan membuat anda jatuh miskin ya bu haji. kalimat ini menunjukkan betapa mereka mengharapkan jumlah itu walau sangat kecil, entah nanti untuk diapakan. Baiklah, anggap saja kita percaya kata mereka bahwa itu untuk makan. kalimat ini biasanya sebelum mereka menyodorkan kaleng sumbangan mereka dengan harapan besar akan ada selembar lima ribuan disana. Hmm, lantas jika ada yang tidak mau memberi, mereka akan marah dan menasihati untuk tidak pelit. atas nama jiwa kemanusiaan, kaleng itu terus ia edarkan

terimakasih bu semoga diberi tambah rejeki tanahnya luas mobilnya dua motornya empat sapinya lima duitnya banyak. ini ungkapan jika ada yang memberi lebih, nah tau kah anda., aku merasa ada yang ganjal di kalimat ini. Semua doa di dalamnya adalah bersifat materi. uang dan uang, lantas dimana kebahagiaan didalamnya? tersiratlah sudah bahwa hidup mereka terorientasi pada materi dan di dalam alam bawah sadar mereka, terpatri lah sudah bahwa dengan uang kita akan bahagia.

***

Tadi hanya mengenai pengantar dan penutup. terkadang saya terusik dengan isi lagu yang mereka bawakan. terkadang liriknya mengundang belas kasihan dan menggambarkan diri mereka yang sudah terlahir dijalanan tanpa kasih sayang orang tua dan mereka membandingkan dengan mereka yang punya rumah dan keluarga. membandingkan kehangatan yang mereka miliki, beban hidup dan ah, seolah-olah mereka lah yang paling sengsara. Padahal seharusnya mereka tau, bahwa banyak rumah gedongan di sana yang isi nya kopong, justru tawa mereka lebih bahagia daripada tawa sang penghuni gedongan. Hanya jika mereka mau bersyukur.

***

Lantas, salahkah mereka yang tidak mau memberi pengamen-pengamen ini sebiji koin atau selembar ribuan? Aku yakin, jumlah itu jika dibandingkan dengan pengeluaran harian akan menjadi sangat tidak berarti bagi sebagian besar orang. namun kenapa mereka masih saja enggan untuk memberi? saya rasa bukan karena mereka pelit. Faktor utama bisa jadi adalah bosan. bosan memberi uang kepada pengamen yang tak ada habisnya. bosan ketika disodori bungkus permen setelah ruang pendengaran dipenuhi oleh suara sumbang mereka. dan adanya keinginan untuk membuat pengamen itu jera. sayang nya hal ini agak mustahil terjadi.

satu fakta terpenting saat ini adalah, kebanyakan masyarakat Indonesia tidak butuh di nyanyikan di jalan, hai pengamen. mereka justru butuh ketenangan, seandainya mereka mau berusaha lebih keras lagi dan berhenti meratapi nasib dengan lagu sedih tak keruan itu, tenanglah sudah bis-bis trans ini.

No comments:

Post a Comment

Dies Natalis PSB 2013